Karena efek pemberitaan, masyarakat, media massa bahkan para jaksa itu sendiri memberikan cap buruk untuk Chuck Suryosumpeno dan dua rekannya, Jaksa Murtiningsih dan Jaksa Ngalimun. Semua mengira Chuck dan kawan-kawan menggelapkan aset dalam kasus BLBI yang terkait Hendra Rahardja. Apa sebenarnya yang terjadi, berikut petikan wawancara redaksi blog www.justiceforchuck.com dengan Chuck.
Bagaimana cerita kasus yang dituduhkan kepada Bapak dan kawan-kawan terkait kasus Hendra Rahardja?
Asetnya Hendra Rahardja yang sempat kami tangani tetapi tidak banyak. Khusus untuk se-bidang tanah di Kebon Jeruk yang dituduhkan, ceritanya begini, suatu hari kami menerima surat gugatan untuk membayar Rp 100 miliar dari ahli waris alm. Taufik Hidayat, terkait tanah di Puri Kembangan, Jakarta Barat dan saya sebagai Ketua Satgassus menjadi salah satu PIHAK yang digugat. Oleh karena itu Jaksa Agung Basrief Arief selaku pemberi kuasa dalam Surat Kuasa Khusus (SKK) memasukkan saya sebagai salah satu tim JPN (Jaksa Pengacara Negara), yaitu SKK Nomor: SK-081/A/JA/08/2012 tertanggal 16 Agustus 2012.
Terus terang, awalnya kami dari tim Satgassus kebingungan karena tak secuil data pun yang kami miliki tentang tanah tersebut. Setelah kami telusuri, kami baru tahu bahwa tanah tersebut sudah dilakukan penyelesaiannya oleh Kejari Jakarta Pusat di tahun 2004 dan telah dicabut status sita eksekusinya pada tanggal 30 September 2004, jauh sebelum Satgassus berdiri dan Kejari Jakarta Pusat saat itu tidak dapat menemukan benang merah adanya kepemilikan Hendra Rahardja. Sejak dicabutnya status sita eksekusi tersebut, tanah kembali pada pemiliknya, yaitu ahli waris alm. Taufik Hidayat. Namun kenyataannya tanah tersebut telah berdiri bangunan liar sehingga pemilik tidak dapat menguasai tanahnya secara fisik dan oleh karena itulah Kejaksaan digugat. Di tengah masa persidangan, majelis hakim menawarkan mediasi dan semua pihak menyetujui.
Bapak dituduh melakukan nego sendiri, benar demikian?
100 persen tidak, malahan 1000 persen. Saya tidak melakukan nego sendiri, mengapa? Karena mediasi dilakukan dalam proses persidangan. Dalam mediasi tersebut, pihak penggugat, yaitu ahli waris alm Taufik Hidayat dapat menerima penjelasan kami.
Lalu, bagaimana muasal uang sebesar Rp 20 miliar?
Tanpa sengaja saya mendapatkan informasi dan bukti bahwa Alm Taufik Hidayat pernah memiliki hutang dengan Hendra Rahardja di tahun 1994 dan saya tegaskan ini sama sekali bukan hutang-piutang terkait tanah tersebut sebesar Rp 5 miliar. Setelah beberapa kali pertemuan yang didampingi hakim mediasi, maka pihak ahli waris Alm Taufik Hidayat akhirnya menyetujui untuk membayarnya ke Kas Negara sebesar Rp 20 miliar sesuai perbandingan kurs dollar saat itu. Dan atas kesepakatan bersama pula, keputusan pembayaran tersebut dimasukkan dalam akta perdamaian.
Saya, yang kebetulan selama persidangan terpaksa harus menghadapi sendiri persidangan,namun selalu melaporkan kepada pimpinan dan ketua tim JPN yang waktu itu dipimpin Pak Johanis Tanak, baik secara langsung maupun via telepon. Coba tanya beliau dan tanya juga Pak Basrief yang waktu itu menjadi Jaksa Agung. Tanya teman-teman PPA yang dulu mantan anggota Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi. Tidak mungkin saya berani memutuskan segalanya sendiri, pangkat saya kan masih kroco.
Bagaimana dengan tanah di Jatinegara Indah?
Penanganan aset berupa tanah di Jatinegara Indah yang dilakukan saudara Ngalimun (mantan anak buah Chuck di Satgassus dan PPA). Tanah itu sebelumnya milik Almarhumah Sri Wasihastuti (istri Hendra Rahadja) yang kemudian dijual kepada saudara Ardi Kusuma senilai Rp 12 miliar, namun Ardi Kusuma baru membayar Rp 6 miliar kepada Ibu Sri Wasihastuti.
Logikanya, Ardi masih memiliki sisa pembayaran atas tanah itu sebesar Rp 6 miliar dan perlu diketahui tanah tersebut bukan status barang rampasan atau barang sitaan yang tercantum pada putusan pengadilan, sehingga tim Satgassus berhati-hati menyelesaikannya agar tidak merampas hak berbagai pihak yang tidak bersalah.
Setelah beberapa kali ditemui saudara Ngalimun, akhirnya saudara Ardi Kusuma bersedia membayarkan sisa hutangnya pada Sri Wasihastuti ke Kas Negara sebesar Rp 6 miliar yang dicicil sebanyak 3 kali. Selanjutnya pada tanggal 16 Januari 2013, telah dilaksanakan pembayaran tahap pertama sebesar Rp 2 miliar, namun tahap berikutnya hingga saat ini belum dilakukan. Itu berarti Kepala Pusat Pemulihan Aset (hasil pengembangan dari Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi) yang sekarang menjabat, dapat menagihnya kembali.
Bapak juga dituduh tidak melakukan pengawasan terhadap Pak Ngalimun untuk tanah di Cisarua. Bagaimana ceritanya?
Penanganan aset berupa tanah di Jogjogan mirip dengan anah di Jatinegara Indah. Tanah tersebut tidak ada dalam putusan pengadilan dan tidak berstatus barang rampasan ataupun barang sitaan. Tanah itu murni hasil penelusuran kami, tim Satgassus pada saat itu. Tanah seluas +9000 m2 milik Sdri. Linda Yuliawati merupakan jaminan atas uang yang diterima alm Matroji, suami Linda Yuliawati, sebesar Rp 500 juta dari Yoga Sentosa dan atau Eko Adi Putranto untuk pembebasan atas sebidang tanah yang berlokasi di Cileduk. Namun pembebasan tanah di Ciledug tersebut batal dilaksanakan karena pihak PT BHS kalah dalam perkara perdata menyangkut tanah tersebut. Dengan demikian uang sebesar Rp 500 juta batal digunakan Alm Matroji dan saudari Linda Yuliawati dan pada akhirnya dengan sukarela mereka bersedia mengembalikannya ke Kas Negara.
Nah, harus dicatat, apa yang dilakukan ahli waris Alm Taufik Hidayat dan saudari Linda Yuliawati, patut diapresiasi, karena mereka bersedia membayarkan hutang mereka ke Kas Negara demi meringankan beban hutang Hendra Rahardja kepada negara. Inilah yang kami sebut “voluntarily asset recovery” atau pemulihan aset secara sukarela.
Banyak pihak termasuk jaksa dan wartawan beranggapan bahwa kasus ini ada hubungannya dengan BLBI, kasus Hendra Raharja.
Hahahaha…., ya…, saya mengerti. Semua salah paham. Ini perkara yang berdiri sendiri. Perkara korupsi. Catat ya, kasus korupsinya bukan kasus BLBI karena yang terkait dalam kasus BLBI adalah PT BHS, bukan Hendra Rahardja secara pribadi.
Disebut-sebut juga bahwa perkara tanah di Puri Kembangan, Jatinegara dan Cisarua tersebut totalnya mencapai Rp 1,9 triliun?
Tentu saja tidak. Sesuai audit BPK, angka itu adalah keseluruhan jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan Hendra Rahardja kepada negara.
Benarkah Bapak hanya menyetor ke kas negara sebesar Rp 20 miliar saja dari Rp 1,9 triliun?
Hahahaha…, itu juga. 100% tidak. Rp. 1,9 Triliun itu adalah uang pengganti yang harus dibayarkan Pak Hendra Raharja dari seluruh asetnya! Itu putusan pengadilannya. Dan untuk penyetoran 20 Miliar yang kemudian menyeret nama Murtiningsih, ceritanya begini, saat ahli waris alm. Taufik Hidayat akan menyetorkan dana Rp 20 miliar tersebut, kami tidak tahu harus menyetorkan kemana karena baru kali itu Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi menerima uang sebesar itu. Karena Satgassus berada di bawah Kepala Biro Keuangan Kejaksaan Agung maka saya minta Sekretaris Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi, Murtiningsih, melakukan koordinasi dengan Kepala Biro Keuangan. Kepala Biro Keuangan kemudian minta pendapat Kepala Bagian Penerimaan Negara dan Barang Rampasan lalu beliau bilang, setorkan saja ke rekening kejaksaan untuk selanjutnya ke Kas Negara dan karena ini juga Murtiningsih mendapat hukuman berat. Anehnya, Kepala Bagian Penerimaan Negara dan Barang Rampasan malah tidak pernah diminta untuk memberikan klarifikasi, ada apa ini?***