Seharusnya Rezim Pemulihan Aset (RPA), rezim yang selama ini diperjuangkan Chuck Suryosumpeno bersama Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Jaksa Agung Basrief Arief, benar-benar eksis di lembaga kejaksaan di masa kepemimpinan Jaksa Agung M Prasetyo. Jangan sampai dilemahkan apalagi dimatikan!
Penerapan RPA di lembaga kejaksaan menurut Chuck sesungguhnya merupakan sebuah langkah terobosan sebagai instrumen total law enforcement (penegakan hukum secara total/utuh atau sempurna). Total Law Enforcement merupakan istilah Chuck untuk menggambarkan suatu keadaan penegakan hukum yang simultan antara penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan (in personam) dan penegakan hukum terhadap aset kejahatan (in rem) yang dilaksanakan para penegak hukum secara terintegrasi (Integrated Law Enforcement).
Kata Chuck, “Saya berkeyakinan, jika kita secara serius menerapkan visi Total Law Enforcement, maka semua ketimpangan dalam penegakan hukum dapat sirna dan akan memperoleh beberapa kondisi ideal yang didambakan selama ini: (1) Optimalnya Efek Jera, (2) Prinsip Crime Doesn’t Pay, (3) Terwujudnya Kepastian Hukum.”
Optimalnya Ejek Jera!
Dari tiga poin di atas, Chuck kemudian membeberkannya lebih lanjut. Pertama, Optimalnya Efek Jera. Dikatakan, instrumen perundang-undangan yang kita miliki saat ini belum seluruhnya mengakomodir ketentuan hukum yang termaktub dalam beberapa konvensi PBB dalam menerapkan prinsip terkait upaya pemulihan aset.
Fokus penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berorientasi pada harta atau aset seperti narkoba, pembalakan liar, tindak pidana perikanan, penyelundupan manusia dan fraud termasuk korupsi yang lebih menekankan pada menangkap dan menghukum pelaku (In Personam) terbukti masih belum mendatangkan efek jera, sehingga kerugian yang diderita oleh korban sama sekali tidak terpulihkan. Penegakan hukum yang utuh adalah dengan menggunakan strategi ganda: menghukum pelakunya (in personam) dan memutus atau menghambat pelaku kejahatan terhadap aset yang dimilikinya serta memulihkan aset para korbannya (in rem).
Jika keseluruhannya dilakukan secara simultan, menurut Chuck, maka akan menimbulkan efek berganda pula: efek hukuman untuk fisik dan efek psikis karena si pelaku akan kehilangan kemampuan finansialnya serta memunculkan efek kepuasan bagi korban karena hartanya terpulihkan.
Prinsip Crime Doesn’t Pay!
Kedua, prinsip Crime Doesn’t Pay! Mengutip pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Chuck menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, Chuck berpendapat, sangat wajar bila dirinya berkeyakinan bahwa negara memiliki kewajiban menyelenggarakan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan demi menjamin keamanan serta ketertiban hidup bermasyarakat hingga akhirnya berujung pada terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat.
Penyelenggaraan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan juga menrutnya, memerlukan biaya yang sangat besar dan dengan kondisi perekonomian dan keuangan negara seperti sekarang ini, maka dipastikan sangat membebani negara. Beban negara sesungguhnya adalah beban rakyat, karena keuangan negara sebagian besar berasal dari pajak yang dibayar rakyat pada negara. Dengan Prinsip Crime Doesn’t Pay, rakyat tidak lagi dibebani pembiayaan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan lantaran pembiayaannya sepenuhnya dibebankan pada anggaran negara yang berasal dari repatriasi aset kejahatan yang dihasilkan dari pemulihan aset kejahatan.
Terwujudnya Kepastian Hukum!
Ketiga, terwujudnya kepastian hukum! Menurut Chuck, jika total law enforcement atau penegakan hukum secara total dapat dijalankan dengan harmonis, dengan sendirinya akan menciptakan kepastian hukum, karena rezim pemulihan aset yang diterapkan secara seimbang dan terintegrasi dipastikan akan mereduksi mental transaksional pada para penegak hukum.
Jangan pula kita lupa, demikian Chuck mengingatkan, bahwa loyalitas para penegak hukum memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan. Kesejahteraan para penegak hukum yang lebih terjamin diharapkan dapat menghindarikan mereka dari perbuatan pelanggaran hukum. Dirinya sangat yakin jika kesejahteraan para penegak hukum terjamin dengan baik, niscaya, tidak ada lagi penegakan hukum yang transaksional.
Antiklimaks
Chuck juga menegaskan bahwa rezim pemulihan aset telah berkembang sangat pesat di dunia termasuk penegakan hukumnya. RPA ini tidak hanya dapat diaplikasikan dalam berbagai perkara korupsi melainkan seluruh tindak pidana kejahatan yang berorientasi pada aset atau harta. Namun di institusi Kejaksaan, menurut Chuck, upaya penerapan RPA ini justru membuat jajaran pimpinan kejaksaan dan para jaksa lainnya merasa terusik dan merasa tidak nyaman.
Ketika RPA ini diterapkan di masa Chuck menjadi Ketua Satgassus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi berikut menjadi Kepala PPA, berbagai pihak di dunia internasional justru memberikan pujian sekalian dukungan. Lembaga kejaksaan Indonesia ketika itu dipuji lantaran aktif sebagai anggota CARIN (Camden Asset Recovery Interagency Network) bahkan menjadi salah satu pendiri sekaligus motor lahirnya ARIN AP (Asset Recovery Interagency Network for Asia and Pacific Region). Chuck Suryosumpeno sendiri malah sempat menjadi Presiden ARIN AP untuk periode 2014.
“Peluh, tenaga dan hasil pemikiran saya bertahun-tahun untuk menerapkan RPA pada akhirnya sia-sia, menjadi bumerang bagi jajaran pimpinan lembaga kejaksaan termasuk rekan-rekan. Situasi dan kondisi semacam ini benar-benar ironis dan antiklimaks, sungguh menyedihkan. Hujatan, cibiran, fitnah serta tatapan sinis telah mewarnai hari-hari saya, setelah saya tidak dapat meyakinkan Jaksa Agung Prasetyo mengenai betapa pentingnya rezim pemulihan aset untuk secara komprehensif diterapkan dalam setiap tahap penegakan hukum oleh Kejaksaan,” ungkap Chuck.
Chuck menegaskan bahwa dirinya tidak akan mundur dan yakin suatu ketika lembaga kejaksaan akan menyadari pentingnya rezim pemulihan aset dan membutuhkan pemikirannya. “Tekanan dan keinginan untuk memusnahkan saya ternyata berujung pada pencopotan serta penghukuman secara sewenang-wenang oleh Jaksa Agung. Tak sedikit rekan yang menyarankan saya untuk ‘legawa’ dan menerima saja hukuman, namun beban moral saya pada para mantan pimpinan kejaksaan dan keluarga saya telah mendorong saya untuk berjuang demi kebenaran. Saya ingin tak akan ada lagi para jaksa dan pegawai kejaksaan yang dihukum secara semena-mena tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri,” demikian Chuck berucap dengan suara yang lantang.
Perja No. 22 Tahun 2014, tambah Chuck, telah mengatur proses pemeriksaan serta penghukuman dengan sangat baik, namun sayangnya, kelemahan para jaksa di pengawasan adalah tidak pernah membaca, memahami serta menjadikan Perja tersebut sebagai acuan atau benchmark dalam setiap pelaksanaan tugasnya.
“Saya berharap, apa yang saya alami saat ini dapat menjadi proses pembelajaran bagi kita semua. Tak ada lagi jaksa dan pegawai kejaksaan yang berada di posisi saya,” pungkas Chuck dengan penuh harapan.***