Jakarta – Sidang ke-10 Gugatan TUN oleh Jaksa Chuck Suryosumpeno terhadap Jaksa Agung RI, M Prasetyo, di PTUN Jakarta pada hari Kamis (31/3/16) menghadirkan Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa, S.H., M.Hum. Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dari Universitas Padjajaran Bandung ini, dihadirkan pihak Chuck sebagai Saksi Ahli Administrasi Negara.
Gede Pantja menyebutkan sejumlah fakta penyimpangan prosedural dalam SK Hukuman Disiplin Berat yang diterbitkan Jaksa Agung terhadap Chuck Suryosumpeno. Guru besar kelahiran Denpasar 13 Januari 1957 itu berpendapat, Jaksa Agung tidak cermat dalam menerbitkan SK Hukuman Disiplin Berat tersebut sehingga melanggar Perja (Peraturan Jaksa Agung) terkait, UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PP 30 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.
Kata Gede Pantja, “Yang dominan dilanggar tentu saja Perja terkait, sedangkan peraturan umum yang dilanggar, antara lain, Undang-undang Aparatur Sipil Negara Nomor 5 tahun 2014, PP 30 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri dan terkait dengan azas-asas pemerintahan yang baik di dalam UU PTUN.”
Gede Pantja juga menyebutkan sejumlah pelanggaran prosedural, antara lain; Pertama, faktanya Chuck baru dipanggil sekali sebagai saksi. “Seharusnya tidak bisa satu kali, bisa berkali-kali. Dipanggil sekali lalu tiba-tiba dijatuhi hukuman disiplin berat ya itu namanya pelanggaran.”
Kedua, “Pak Chuck itu diperiksa oleh jaksa yang pangkatnya lebih rendah, padahal menurut prosedur dan aturan yang tepat sebagaimana yang terdapat dalam Perja terkait, diperiksa oleh pejabat yang lebih tinggi pangkatnya atau setidaknya sama.”
Ketiga, “Di dalam Peraturan Jaksa Agung, sangat jelas disebutkan, saya lupa pasalnya, bahwa sebelum satu keputusan hendak diterbitkan, pihak yang terkena putusan harus dipanggil terlebih dahulu, setidaknya satu minggu sebelumnya tetapi itu tidak dilakukan. Begitu juga penerbitan keputusan, harus disampaikan terlebih dahulu kepada pihak yang hendak dihukum, tentukan jangka waktunya, namun yang dialami Pak Chuck justru dilampui,” ungkap Gede Pantja.
Jaksa Agung juga menurut Gede seharusnya mempertimbangkan azas-azas pemerintahan yang baik, di antaranya azas kecermatan, mulai dari fakta-fakta yang ada, laporan-laporan yang masuk, mendengarkan dengan seksama dan jangan sampai mendengarkan laporan anak buah yang sifatnya ABS (Asal Bapak Senang) atau karena faktor subjektivitas pimpinan. Prinsip-prinsip keadilan dan kebijaksanaan harus dijunjung tinggi.
Gede Pantja menyebutkan kejanggalan lain bahwa faktanya ada Nota Dinas dari Jaksa Agung dan itu disebutnya sebagai fakta hukum. Dengan demikian Chuck tidak bertindak atau bekerja sendiri dan karena Gede Pantja bertanya, “Kenapa itu diabaikan? Ini negara hukum, apalagi kejaksaan adalah lembaga hukum, maka seharusnya menjunjung tinggi hukum dan berbagai aturan. Kejaksaan seharusnya tertib, memberikan kepastian (hukum), tidak bisa serampangan bertindak dan mengambil keputusan. Keadilan itu tidak hanya menyangkut hal-ihwal yang bersifat substantif karena ada pula keadilan yang bersifat prosedural dan sama pentingnya dengan keadilan substantif.”
Disimpulkan oleh Gede Pantja bahwa sebuah keputusan pejabat TUN harus memenuhi unsur materil, formal dan prosedur. Jika salah satu unsur tidak dipenuhi maka putusan tersebut tidak sah. “Karena bertentangan dengan sejumlah hal yang bersifat prosedural maka saya berpendapat, tidak ada alasan bagi hakim untuk mengatakan bahwa itu (gugatan TUN Chuck Suryosumpeno) tidak sah. Jangan sampai hakim juga tidak cermat!”***