Belajar dari Jaksa Agung R. Soeprapto

R Soeprapto! Selama memimpin lembaga kejaksaan periode 1951-1959 dia telah menjadi sosok pemimpin nan sederhana, adil, bijaksana, berwibawa, bermoral, berintegritas, tidak mau disuap dan sebaliknya melawan suap. Ia tegas, tekun, ulet dan pekerja keras, tidak mau lembaga kejaksaan menjadi alat politik dan tidak pernah mau dipengaruhi oleh siapa pun termasuk presiden. Sejumlah sifat, karakter dan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya seperti itu membuat dia akhirnya didaulat sebagai “Bapak Kejaksaan Indonesia!”

Sekedar untuk mengingat kembali. Pada 1 April 1959, Presiden Sukarno memberhentikannya dengan hormat. Pemberhentian, terkait kasus peradilan Jungschläger dan Schmidt, dua warga negara asing, dari Belanda, yang ditangkap 1954. Pengadilan Negeri Jakarta ketika itu menjatuhi hukuman seumur hidup untuk Leon Nicolaas Hubert Jungschläger dan H.C.I.G. Schmidt pada tahun 1958. Belakangan Jungschläger meninggal dunia dan tersisa  Schmidt yang kemudian mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta lalu memutus lebih ringan, 5 tahun, dipotong masa tahanan. Karena Schmidt telah menjalani hukuman 5 tahun maka pengadilan tinggi membebaskannya dan Kejaksaan Agung tidak mengajukan permohonan kasasi. Jaksa Agung Soeprapto lalu memerintahkan eksekusi.

Mengapa tidak kasasi? Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung Soeprapto berpendapat, rakyat sedang dendam sekaligus tidak suka pada orang Belanda dan karena itu Schmidt diusir saja kembali ke Belanda. Atas dasar itu Jaksa Agung Soeprapto dianggap bersalah, tidak melakukan kasasi dan tidak konsultasi dengan Menteri Kehakiman, Maengkom, ihwal pemulangan Schmidt.

Ketika berlangsung serah terima jabatan jaksa agung baru di Istana Presiden, Soeprapto tidak mau hadir. Ia juga menolak minta maaf karena merasa dirinya telah melakukan tindakan yang tepat secara hukum maupun prosedural, tidak mau mencampuradukkan politik dan hukum. Dia juga berprinsip, hukum dan keadilan harus ditegakkan, tidak mau cari muka pada pimpinan demi melanggengkan jabatan.

Organisasi Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja dan kini disebut PJI atau Persatuan Jaksa Indonesia) sempat memberikan pembelaan pada Jaksa Agung Soeprapto. Beberapa pertimbangan di antaranya: Pertama, terlepas dari salah tidaknya Jaksa Agung Soeprapto, maka cara ‘pembebasan’ itu jelas tidak memberikan peluang yang layak bagi seorang pejabat tinggi, yang telah memberikan baktinya bagi nusa dan bangsa, tanpa memberikan pula kesempatan untuk memberikan penjelasan-penjelasan seperlunya sebelum hukuman pembebasan dijatuhkan.

Kedua: Di dalam sebuah negara hukum, seorang pejabat masih dapat diberikan kesempatan untuk mengadakan pembelaan, maka adalah tidak layak pejabat seperti Jaksa Agung dijatuhi hukuman kepegawaian sebelum mendengar sama sekali keteranganya. Ketiga: Pendengaran keterangan sesudahnya yang bersangkutan dijatuhi hukuman, bukanlah cara yang baik dalam negara hukum yang kita junjung tinggi.

Keempat : Akan dapat menunjukkan rasa ‘pieteit’ ketimuran kiranya, jikalau kabinet menangguhkan keputusannya, sampai Jaksa Agung Soeprapto kembali dari kepergiannya untuk memperingati wafat ibunya dan dapat memberikan keterangan.

R Soeprapto meninggal di Jakarta 2 Desember 1964 pada usia 67 tahun. Selain dikenang dalam berbagai kisah dan tersurat di dalam berbagai literatur, Jaksa Agung R Soeprapto dihormati dan diagung-agungkan di dalam rupa patung, gambar, yang tampak di berbagai kantor kejaksaan termasuk kantor Kejaksaan Agung.

Walau Jaksa Agung R Soeprapto telah mewariskan nilai-nilai luhur sebagaimana disebutkan di atas, hanya sayangnya, warisan semacam itu, seakan-akan tak terwariskan bagi seluruh jaksa termasuk pimpinan tertinggi di lembaga kejaksaan. Memang ada jaksa yang hampir mirip seperti Jaksa Agung R Soeprapto, namun mereka seperti ditenggelamkan atau menenggelamkan diri karena berjalan (tegak) lurus seperti Jaksa Agung R Soeprapto. Sebaliknya jaksa yang muncul ke permukaan, lalu mengemuka dan menjadi terkemuka adalah jaksa-jaksa yang secara tau dan mau atau dengan sengaja mengabaikan nilai-nilai yang telah diwariskan Jaksa Agung R Soeprapto. Mereka lebih senang menjadi bunglon atau memilih mewujudkan nilai-nilai pragmatisme. Begitulah!

Terlalu berlebihan menyandingkan Jaksa Agung R Soeprapto dan Jaksa Chuck Suryosumpeno.  Chuck memang mengagumi Jaksa Agung R Soeprapto namun tentu saja keduanya memiliki banyak perbedaan. Yang mungkin mirip atau hampir sama adalah sifat dan keteguhan hatinya yang disebutkan oleh “orangtua” kejaksaan sebagai keras kepala.

Sebagaimana Jaksa Agung R Soeprapto, perbuatan Chuck dan kawan-kawan yang seharusnya benar kala memulihkan aset tanah Kembangan, tanah Jatinegara Indah dan tanah di tanah di Jogjogan Cisarua di tahun 2011, justru disalahkan oleh pimpinan (baru) periode 2014-2015 ini, padahal pimpinan Kejaksaan Agung sebelumnya, 2011-2014, telah menegaskan bahwa Chuck dan kawan-kawan telah melakukan hal yang benar.

Chuck tidak pernah diberikan ruang dan waktu yang leluasa oleh “orangtua” dan segenap pimpinan di Kejaksaan Agung untuk mendengarkan atau menjelaskan duduk persoalan terkait kasus tanah tersebut. Sebagai “orangtua” yang baik seharusnya panggil saja si “anak” untuk menjelaskan. Tidak elok dan tidak bijak hanya mendengarkan para pihak yang tidak memahami persoalan dan atau malah sebenarnya memiliki niat-niat yang tidak baik karena punya agenda terselubung.

“Orangtua” yang baik adalah “orangtua” yang seeloknya memanggil sang anak yang hendak diberi hukuman, mengajak anak untuk bicara dari hati ke hati, duduk baku-hadap (berhadap-hadapan), sebagaimana pula tradisi dan norma yang berlaku di lembaga kejaksaan selama ini dan sebagaimana adat-istiadat bangsa dan negeri Indonesia. Bukan dengan cara melecehkan yang serta-merta mengirimkan surat “hukuman” melalui JNE.

Para jaksa dan pimpinan kejaksaan harus belajar dari “orangtua” seperti Jaksa Agung R Soeprapto. Jadilah orangtua yang adil, bijaksana, berwibawa, sederhana, berjalan tegak lurus dalam menegakkan hukum, bukan untuk penegakkan bidang lain dan orang (dari dunia) lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published.