Jakarta, law-justice.co – Chuck Suryosumpeno sudah 35 tahun mengabdikan diri di kejaksaan. Ironisnya, dia kini justru mendekam di rumah tahanan (Rutan) yang pernah didesainnya sendiri. Sudah 3 tahun Chuck berjuang memulihkan nama baiknya.
Anak mantan Kepala Kejaksaan Negeri Kota Madiun ini memulai karirnya pada 1980 saat masih mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ia melamar ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Daerah Istimewa Yogyakarta demi membiayai kuliahnya. Setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan di Ngawi pada 1979, sulung dari empat bersaudara ini harus memutar otak mencari cara bagaimana agar ia tetap bisa kuliah. Saat Kejati Daerah Istimewa Yogyakarta membuka lowongan, Chuck pun mencoba peruntungan. Nama baik ayahnya membuat ia lebih diprioritaskan.
Awalnya dia bekerja sebagai petugas keamanan. Kemudian Chuck dianggat menjadi staf di bawah pengawasan Kepala Urusan Persuratan. Kepala Kejati DIY saat itu, Udiono, menawarkan Chuck menjadi ajudan pribadinya. Chuck pun menerima tawaran tersebut, dan ia terus menjadi ajudan hingga Kepala Kejati DIY berikutnya, Joko Mulyo dan Suhardjo.
Chuck akhirnya bisa menyelesaikan studi di UGM pada 1986 dan langsung masuk di Pusat Diklat Kejaksaan. Dua tahun kemudian ia resmi dinobatkan sebagai jaksa muda dan ditempatkan di Pulau Batam pada 1988. Sebelum berangkat ke Pulau Batam, Chuck menikah dengan Retno Kusumastuti, keturunan bangsawan cucu Sri Paduka Paku Alam VIII. Chuck dan Retno pun hijrah ke Pulau Batam untuk mengabdi di Kejaksaan Negeri yang baru dirintis di sana.
Chuck memulai petualangannya sebagai jaksa sejak di Batam. Total, 12 tahun ia menghabiskan waktu di sana. Istri Chuck, Retno Kusumastuti, bercerita kepada Law-Justice.cobagaimana mereka memulai hidup di kampung orang. Atas apa yang menimpa Chuck saat ini, Retno berkeyakinan bahwa suaminya hanya ingin memulihkan nama baik.
Berikut petikan wawancara wartawan Law-justice.co Januardi Husin dengan Retno Kusumastuti, pada Rabu (9/1/2019).
Sudah mengenal Chuck sejak kapan?
Sejak kelas 6 SD. Karena Pak Chuck dulu kan ajudan Kejati. Bapak saya ajudan wakil Gubernu DIY. Saya dilamar saat masih kuliah di Inggris. Karena ayahnya sudah meninggal, dulu Chuck meminta tolong Kejati DIY, Pak Hardjo, untuk melamar saya langsung ke Sri Paduka. Saya menerima dan kami pun menikah.
Anda langsung ikut ke Batam?
Iya. Kami memulai hidup dari sana. Karena saya sudah terbiasa cari uang sendiri, di sana saya juga membangun bisnis bersama teman-teman. Saya tidak enak kalau minta uang terus sama bapak. Waktu itu gaji jaksa tidak seberapa.
Saya dulu sempat membangun perusahaan penyedia air mineral. Di sana dulu susah sekali dapat air mineral. Pasokan dari Jakarta sering macet. Saya juga sempat membangun showroom mobil di sana. Usaha-usaha saya terbilang sukses di sana.
Dari dulu saya memang tidak terlalu mengandalkan pendapatan dari Pak Chuck. Chuck fokus menjalankan tugasnya di kejaksaan. Berangkat subuh, pulang malam. Kalau sekarang ada yang tanya mengapa Chuck itu suka berangkat pagi-pagi, dari dulu dia memang seperti itu. Sejak di Batam. Sudah kebiasaan.
Terus kalau kemudian banyak orang juga bilang kami bisa melakukan apapun karena Chuck yang kaya. Salah. Saya dari dulu bekerja, punya usaha. Dari awal saya tidak terlalu intens mengetahui apa sebenarnya kerjaan suami saya. Beberapa kali saja diajak untuk diskusi. Saya sebetulnya enggak mau tahu, cuma kadang-kadang bapak cerita kalau lagi ada masalah.
Berapa lama di Batam?
Sampai tahun 1998. Bapak mendapat promosi ke Kepala Seksi Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Saya dan anak-anak juga langsung boyong ke Jakarta. Dua tahun dia di Kejari Jakarta Barat.
Setelah itu, waktu Jaksa Agungnya Pak MA Rachman, Pak Chuck diminta untuk jadi Kepala Tata Usaha di Kejaksaan Agung. Sejak itu dia sudah jarang pulang karena melayani Pak Jaksa Agung pergi ke luar Kota.
Kemudian, pada 2003 dia diminta kembali lagi ke Batam untuk menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Batam. Jadi, dulu sudah 10 tahun sebagai jaksa, kembali ke sana lagi jadi Kejari. Saya pun ikut ke Batam lagi. Tambah dua tahun lagi kami di Batam.
Setelah dari Batam Chuck memegang jabatan apa lagi?
Dia sempat dua tahun juga di Bandung jadi Kejari. Setelah dari Bandung, Chuck ditarik lagi ke Kejagung, diminta jadi Kabag Rumah Tangga. Waktu itu Jaksa Agungnya Hendarman Supandji.
Chuck sempat shock waktu itu. Yang sudah-sudah, orang jadi Kabag Rumah Tangga dulu baru jadi Kejari. Tapi kenapa dia justru sebaliknya. Dia pikir atasan marah. Chuck pun menghadap dan minta penjelasan langsung kepada pak Hendarman.
Pak Hendarman bilang, dia enggak marah. Tapi dia ingin Chuck membuat terobosan di Rumah Tangga Kejagung. Dia capek dulu lihat kantor semerawut. Akhirnya Pak Chuck mengerti dan menerima.
Waktu itu tugas berat Chuck adalah menyelesaikan persoalan parkir yang enggak karu-karuan. Dulu semua jalan dan halaman Kejagung, isinya mobil. Akhirnya Chuck usul, kayaknya butuh gedung parkir. Dia disuruh bikin. Tapi sesuai aturan.
Chuck juga yang mengusulkan agar dibuat Rumah Tahanan Kejagung yang ada sekarang ini. Dulu, Rutan itu ada di dekat masjid. Kamarnya pengap, sinar matahari tidak masuk. Kamar mandinya juga kurang, sering ngantri.
Chuck ditahan di rutan yang dia desain sendiri (foto: Radar)
Dia lapor ke pak Hendarman dan mengusulkan untuk menjadikan lantai 7 sebagai Rutan. Dia maunya tahanan yang lebih manusiawi. Akhirnya dia desain seperti yang sekarang ini.
Nah, sekarang dia sendiri yang coba. Kemarin dia bilang, “Ooo kayaknya aku kurang bikin begini atau begitu.” Ya begitulah pengalamannya.
Kapan Chuck bersinggungan dengan Tim Satuan Tugas Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi (Satgassus)?
Sampai tahun 2010, Chuck diminta untuk menjadi Asisten Pembinaan. Nah waktu itulah pak Hendarman sempat berselisih paham dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), soal barang rampasan dan barang sita eksekusi yang mangkrak di kejaksaan.
Chuck dipanggil menghadap. Akhirnya dia bilang, masalahnya itu memang 80 persen berasal dari Kejati DKI Jakarta karena di sana barang rampasan itu banyak yang mangkrak. Jadi bukan suatu hal yang mustahil, karena setiap persidangan selalu ada barang rampasan.
Karena itu, memang harus ada satu bidang yang bertugas untuk menyelesaikannya. keluarlah Keputusan Jaksa Agung (Kepja) tentang pembentukan Satgassus.
Kemudian pak Basrief Arief jadi Jaksa Agung, keluar lagi Kepja dua kali untuk menyempurnakan Satgassus, terutama soal fungsi, wewenang, dan siapa-siapa saja orangnya. Awal-awal, Satgassus belum bekerja maskimal. Pak Chuck masih menjabat sebagai asisten pembinaan, yang lain juga begitu.
Mengapa Chuck dulu menerima jabatan sebagai ketua Satgassus?
Dia tidak pernah menolak perintah pimpinan. Dia sadar, jadi Satgassus itu berat. Tapi kalau tidak dilaksanakan, aset-aset mangkrak itu akan terus membebani kejaksaan. Itu namanya utang kepada negara yang harus diselesiakan oleh kejaksaan.
Kan begini, selama ini jaksa itu kerjanya cuma menuntut dan memasukkan orang ke penjara. Plus menyita beberapa aset untuk dirampas oleh negara.
Tapi kemudian mau diapain ini barang sitaan? Dulu belum ada batas waktu, barang rampasan harus selesai dalam rentang waktu berapa bulan. Jadi numpuk.
Kalau (yang disita) mobil, setelah inkracht, harganya pasti turun. Itu pada mangkrak. Padahal masih tercatat sebagai hutangnya kejaksaan. Secara moral, jaksa yang memasukkan orang ke penjara juga harus tanggung jawab, karena dia yang paling paham soal barang sitaan.
Sekarang begini, dengan memasukkan orang ke penjara, apakah tugas negara selesai? Tidak. Terpidana itu malah bikin beban. Nyewain ruangan. Kasih makan. Kalau sakit negara yang biayain. Negara malah keluar duit.
Padahal orang ini sudah korupsi. Harusnya ada duit yang masuk ke negara lewat barang sitaan.
Jadi, Chuck juga berkeyakinan memang harus ada tindakan serius yang diambil untuk menyelesaikan aset-aset barang rampasan itu. Karena kalau mau dirawat, duitnya dari mana?
Dari mana Chuck belajar tentang pemulihan barang rampasan dan barang sita eksekusi?
Sejak tahun 2012 dia sudah sering belajar ke luar negeri tentang pemulihan aset. Pertama kali ke Belanda, karena sistem hukumnya mirip dengan Indonesia.
Dia juga bergabung dengan Camden Asset Recovery Interagency Network (CARIN). Praktisi pemulihan aset dari seluruh dunia ngumpul di situ. Di sanalah beredar informasi tentang cara-cara untuk memulihkan aset yang disita oleh negara.
Chuck menikah dengan Retno Kusumastuti,keturunan bangsawan cucu Sri Paduka Paku Alam VIII (foto: Januardi Husin/Law-Justice.co)
Di luar negeri, pemulihan aset sitaan itu melibatkan semua sektor profesi. Bukan hanya dari kejaksaan. Ada polisi, ahli ekonomi, auditor, ahli manajemen aset, ada banker. Semua jadi satu tim. Kenapa begitu? karena aset itu bukan hanya tanah, uang, atau mobil.
Ada aset dalam bentuk saham yang nilainya jutaan dolar. Ada yang menyembunyikan asetnya berupa sperma kuda untuk balapan pacuan kuda. Itu nilainya jutaan dolar loh. Ada juga aset yang disimpan dalam wine.
Seperti apa prinsip penyelesaian aset yang selama ini dipegang oleh Chuck setelah belajar dari luar negeri?
Kami pernah dapat cerita dari praktisi pemulihan aset di Australia. Mereka menangkap bandar narkoba dengan menyita 10 pesawat baru yang berukuran kecil-kecil. Bekas dipakai untuk menyelundupkan narkobanya.
Siapa yang mau beli pesawat itu di Australia? Enggak ada.
Dibawalah 10 pesawat itu ke Texas. Karena kalau di Australia, semua orang tahu, hanya dalam beberapa bulan pasti sudah karatan. Di sana kan suhunya dingin.
Pas harga lagi tinggi, pesawat-pesawat itu dijual kepada orang-orang kaya di sana. Pemasukan untuk negara melimpah.
Saya tanya, ada enggak aturan mengatur soal itu?
“Enggak ada. Tapi selama niatannya untuk negara, laporannya harus bisa dipertanggungjawabkan,” kata mereka.
Dari situ Pak Chuck tahu bahwa yang namanya pemulihan aset itu harus berpikir Out of The Box. Ada logika bisnis di situ. Enggak bisa lagi mikirin, “jangan-jangan aset itu lu jual?”
Makanya harus ada administrasi yang rapih. Harus ada pemasukan untuk negara yang jelas asal usulnya. Harus bisa dipertangungjawabkan.
Nah yang terjadi sekarang pada Pak Chuck adalah, mereka “menduga” Chuck melakukan penyelesaian aset semaunya sendiri. Itu sama seperti ngukur orang pakai bajunya sendiri.
Selama administrasinya rapih, why not? Toh putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung mengatakan Chuck tidak melanggar 1 SOP pun. Lalu perbuatan melawan hukumnya di mana?
Apakah dalam proses pemulihan aset itu tidak rawan terjadi korupsi juga?
Kuncinya itu cuma satu: transparansi. Harus ada laporan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Jangan sampai jaksa itu nyimpen-nyimpen aset yang tidak berhak dimiliki oleh negara. Misalnya, putusan pengadilan memutuskan bahwa barang sitaan itu ada 3. Tapi yang disita sama kejaksaan itu ada 5. Yang salah sita itu tidak langsung dikembalikan.
Itulah yang namanya Double Crime, penegak hukum yang melakukan kejahatan terhadap aset. Dan itu banyak. Pak Chuck sudah diingatkan sama teman-temannya di CARIN.
“Di tempatmu, kamu akan bertemu dengan Double Criminal, yang sebagian besar dari teman-teman mu sendiri.”
Mengapa Chuck bisa bermasalah dengan tiga aset milik Hendra Rahardja?
Pertama, soal tanah yang di Puri Kembangan, tahun 2012 anaknya almarhum Taufik Hidayat yang ada di Australia tiba-tiba menggugat Kejaksaan Rp 100 miliar. Karena terjadi kelebihan lelang 1,1 hektar aset milik Hendra pada tahun 2003.
Chuck dipanggil menghadap sama Pak Jaksa Agung Basrief Arief. Dulu mereka lelang cuma dapat Rp 11 miliar, sekarang mau digugat Rp 100 miliar.
Saya ingat betul waktu itu bapak langsung panik. Kebetulan ada janjian sama saya mau makan siang, tiba-tiba dibatalkan. “Aku enggak bisa. Aku mau digugat ini,” kata dia.
Nah masuklah pak Chuck dalam tim Jaksa Penuntut Negara (JPN). Sudah tenang, dikira sudah jalan itu. Tapi suatu ketika, dapatlah panggilan sidang. Itu panggilan ketiga. Dia kaget, yang pertama dan kedua ke mana?
Anak mantan Kepala Kejaksaan Negeri Kota Madiun ini memulai karirnya di Kejaksaan pada 1980 (foto: Istimewa)
Kalau dihukum in absensia, kejaksaan bisa kalah. Dia lapor lah ke Jaksa Agung. Diperintahkan berangkat sendiri ke sidang, karena tim JPN yang lain sedang sibuk.
Setelah menghadiri sidang itu, dia pusing. Dia tidak tahu apa-apa tentang kesalahan lelang itu. Berkas-berkasnya juga tidak ada di kejaksaan. Soal pencabutan sita saja dia dapat dari Badan Pertanahan Nasional.
Akhirnya semua selesai. Kejaksaan tidak jadi digugat, tapi malah dapat uang Rp 20 miliar dari Taufik Hidayat yang pernah ngutang pada Hendra Rahardja. Uang itu bukan hasil jual beli tanah, itu murni penyelusuran tim Satgassus bahwa memang Taufik Hidayat pernah punya hutang tahun 1997.
Anaknya bersedia membayar hutang tersebut, asalkan tanah yang dulu pernah dicabut sitanya oleh kejasaan Negeri Jakarta Pusat, dikembalikan kepada ahli waris.
Kasus tanah di Jatinegara Indah dan Jojogan juga hampir sama. Bukan hasil jual beli. Tapi penelusuran hutang piutang.
Kemudian Chuck dianggap bekerja sendirian, tidak melibatkan tim JPN lainnya. Padahal surat-surat laporannya lengkap ia sampaikan kepada Jaksa Agung dan ketua tim JPN, Pak Yohanes Tanak.
Kemudian dia juga dianggap menjual tanah tersebut tidak lewat mekanisme lelang. Sekarang begini, apa dasarnya melelang ketiga tanah itu? Wong ketiga tanah itu bukan barang sita eksekusi. Tidak ada dalam putusan pengadilan Hendra Rahardja. Setifikatnya juga tidak ada di kejaksaan.
Dalam aturannya kan jelas, yang bisa dilelang itu adalah barang rampasan hasil putusan pengadilan. Karena nanti KPKNL (Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) akan tanya, dasarmu mau melelang ini mana? Surat-suratnya mana? Punya negara atau bukan?
Kalau enggak ada, KPKNL yang kena masalah karena dia yang lelang. Harus ada putusan pengadilan, baru KPKNL mau melelang. Lagian Satgassus mana punya kewenangan untuk melelang atau menjual aset.
Yang dimiliki Satgassus saat itu hanya bukti-bukti hutang piutang dan hak tagih kesepakatan di masa lalu. Itu yang dikejar untuk memberi pemasukan ke negara.
Pak Chuck sudah menjelaskan semuanya kepada badan Pengawasan. Dia sudah kasih bukti-bukti bahwa dia tidak melanggar prosedur. Masalah ini sebetulnya sepele untuk dijelaskan tapi mereka enggak paham-paham.
Bagaimana ceritanya Chuck bisa diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil?
Akhir tahun 2015 dia dapat Kepja 186. Saya ingat betul itu hari Jumat. Isinya, dia diberhentikan sebagai Kejati Maluku karena dianggap bersalah dalam penyelesaian tiga aset Hendra itu. Padalah, Chuck belum pernah diperiksa sebagai terlapor. Selama ini, dia hanya diperiksa sebagai saksi, tapi langsung diberhentikan begitu saja.
Terus Chuck bilang ke saya, ini enggak bener. Mencopot Kejati itu tidak bisa tiba-tiba. Yang bersangkutan harus dipanggil dulu. Kepja 186 juga enggak menyebutkan dia dipindahtugaskan ke mana.
Malam itu juga, kami terbang ke Jakarta. Besoknya, hari Sabtu, dia mencoba menghubungi Jamwas (Jaksa Agung Muda Pengawasan) tapi tidak diangkat. Hari Senin, Chuck mencoba untuk menghadap Jaksa Agung, Pak Prasetyo, tapi ditolak.
Hari Selasa, pengganti Chuck di Kejati Maluku sudah ada, yaitu Pak Jan S Maringka.
Hari Rabu, tidak ada pilihan lain, Kepja 186 itu kita gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat. Semua jalur komunikasi sudah ditutup.
Kemudian, pada bulan Desember datang lagi Kepja 192. Isinya, memindahkah Chuck ke bagian pengawasan. Tapi Kepja itu menyebut Chuck sebagai jaksa fungsional, baik sebagai Kejati maupun sebagai jaksa pengawasan.
Pak Chuck menganggap surat itu keliru. Dia bukan jaksa fungsional. Akhirnya dia minta Kepja itu diperbaiki.
Chuck siap ditempatkan di mana saja. Hanya minta penyebutan jaksa fungsional harus dibetulkan, karena akan jadi masalah di kemudian hari. Tapi sampai sekarang tidak diperbaiki. Akhirnya kami TUN kan juga itu Kepja 192.
Ketika kami sedang berjuang di TUN, tahun 2017 datang lagi Kepja 130. Pak Chuck dipecat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kejaksaan, karena dianggap tidak masuk selam 28 hari. Dianggap tidak ada kabar.
Padahal semua orang tahu dia sedang mempersengketakan Kepja 192. Selain itu, pada dasarnya, setiap hari dia masuk kerja dan selalu absen. Dia juga bingung, itu absen 28 hari ngitungnya dari mana.
Kami pernah mempermasalahkan Kepja 130 ke Badan Kepegawaian Negara. Undang-undang ASN menyebutkan, seseorang baru bisa dipecat sebagai PNS kalau mangkir 45 hari berturut-turut tanpa kabar. Selain itu, sebelum memecat, atasan juga harus membuat surat teguran tiga kali. Faktanya tidak pernah ada teguran.
Tapi akhrinya kami juga kalah. Melawan kekuasaan itu memang tidak mudah. Kita realistis saja, yang megang daftar absen itu siapa sih? Kami tidak bisa berbuat apa-apa soal itu.
Lalu apa yang akan dilakukan Chuck sekarang?
Kami akan ikuti semua proses hukumnya. Kami dengar sebentar lagi akan naik ke tahap II. Kalau pak Chuck nya sendiri, dia sih sudah pasrah. Ya sudahlah. Mau diapain lagi, terserah. Berharap untuk menang juga susah.
Tapi kalau tidak dilawan, artinya membenarkan. Chuck kan tidak hidup sendirian. Dia punya anak, punya istri, punya keluarga. Kalau tiba-tiba dia dicopot, bagaimana dia menjelaskan sama keluarganya? Sementara dia merasa enggak bersalah.
Kalau Jaksa Agung tidak bisa mengembalikan Chuck sebagai PNS Kejaksaan karena ada Kepja 130, ya sudah tidak apa-apa. Bapak enggak pernah mengejar jabatan. Enggak ingin balik lagi.
Tapi tolong kembalikan harkat, martabat, dan nama baiknya. Sesuai dengan putusan PK Mahkamah Agung. Mengembalikan nama baik itu gampang, ada mekanismenya. Kalau sudah begitu, urusan akan selesai. Ya, mungkin karena malas mengembalikan nama baik, akhirnya masuk pidana.