Dengan mata berkaca-kaca Chuck Suryosumpeno menjumpai redaksi www.justiceforchuck.com. “Selama ini kami di lembaga kejaksaan memiliki budaya untuk patuh pada pimpinan. Apa pun kata dan perintah pimpinan, kami harus patuh dan laksanakan. Tetapi kali ini saya terpaksa membandel…!” ungkap Chuck di awal wawancara. Mengapa membandel? Berikut kutipan wawancara selengkapnya:
Bagaimana kronologi pemecatan Bapak oleh pimpinan Kejagung lalu menggugat ke PTUN?Saya belum dipecat. Hanya dicopot dari jabatan sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. Saya juga tidak tahu prosesnya bagaimana, karena sejak saya dimutasikan ke Maluku pada Februari 2015, saya hanya dipanggil satu kali oleh para pemeriksa di Pengawasan untuk menjelaskan tuduhan-tuduhan yang dituduhkan pada mantan anggota Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi, Saudara Ngalimun.
Kapan dipanggil Jamwas?
Sekitar tanggal 3 Juni 2015.
Apa yang terjadi pada waktu dipanggil dan diperiksa pihak Jamwas?
Ada pemahaman yang keliru. Mengapa saya katakan begitu? Karena para pemeriksa sebenarnya tidak mengerti perbedaan antara Barang Rampasan, Barang Sita Eksekusi dan Barang Hasil Penelusuran Aset. Pihak pemeriksa kurang atau bahkan tidak memahami sepenuhnya duduk persoalan terkait kasus ini. Yang periksa saya waktu itu juga salah seorang dari Tim Pemeriksa yang pangkatnya di bawah saya tanpa menunjukkan surat delegasi padahal saya tahu. Sesuai prosedur, seharusnya ada sejumlah jaksa senior yang ikut memeriksa saya, tetapi saya tidak tahu kenapa mereka tidak ikut. Saya rasa tidak etis dan cenderung melecehkan saya. Seakan mereka sudah yakin saya bersalah.
Kepada tim pemeriksa atau yang mewakili, saya telah jelaskan berbagai hal yang dituduhkan dan menurut mereka “clear” tetapi apakah mereka dapat mengerti penjelasan saya tentang rezim pemulihan aset yang seharusnya sangat menguntungkan negara? Hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu.
Jadi menurut Bapak, apa sebenarnya pertimbangan pimpinan Kejagung hingga akhirnya Bapak dihukum berat?Pertama, saya dituduh tidak berkoordinasi dengan Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan pimpinan Kejaksaan Agung dalam menyelesaikan tanah sengketa di Puri Kembangan, Jakarta Barat, yang digugat pihak Alm Taufik Hidayat. Sebagai akibatnya kejaksaan tidak dapat menginventarisir lagi dan menguasai tanah tersebut yang diperoleh dari Tim Likuidasi BHS untuk menutupi piutang uang pengganti a.n., terpidana Hendra Rahardja. Seolah-olah penanganannya telah optimal dengan hanya menerima pembayaran hutang dari penggugat (hanya) sebesar Rp 20 miliar, padahal potensi penerimaannya bisa lebih besar dari nilai tersebut.
Yang kedua, saya juga dituduh melakukan pembiaran terhadap anak buah saya, Ngalimun yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Unit Operasional Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi dalam menyelesaikan Barang Rampasan di Jatinegara Indah berupa tanah seluas sekitar 7,8 hektar.
Ketiga, saya dituduh melakukan pembiaran terhadap jaksa yang sama, Ngalimun, dalam penyelesaian tanah sekitar 9 ribu meter persegi di Jogjogan, Cisarua.
Menurut Bapak, apa yang salah dari langkah Kejaksaan Agung sampai harus digugat?
Karena apa yang dituduhkan, 100% tidak benar. Secara prosedural keliru. Pada umumnya, pimpinan sendiri yang memanggil anak buahnya saat penjatuhan hukuman lalu memberikan suratnya. Yang terjadi pada saya, justru sebaliknya. Surat dikirimkan ke Ambon melalui JNE/Titipan Kilat. Tentu saja saya kaget dan kecewa. Saya juga tidak diberikan kesempatan untuk membela diri atau tidak diberikan waktu untuk menjelaskan atau klarifikasi lebih dalam. Selanjutnya secara materi, apa yang dituduhkan kepada saya, sangat lemah. Jelas sekali, tidak sesuai dengan fakta sesungguhnya.
Ya, apa yang dituduhkan, semuanya tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan, mengada-ada, subyektif, maka saya lawan dengan proses hukum, menggugat SK Jaksa Agung ke PTUN. Memang saya tidak dididik untuk melawan pimpinan, tapi demi tegaknya kebenaran, terpaksa harus terjadi kegaduhan ini. Prinsipnya kalau saya salah, saya tidak akan ribut, tetapi saya sangat yakin tidak bersalah.
Bapak tidak takut melawan kekuatan besar dan kekuasaan?
Kesetiaan saya hanya tertuju pada bangsa dan negara ini dan oleh karena itu jugalah saya sanggup mengabdikan diri selama hampir 35 tahun di institusi kejaksaan. Namun saya seringkali prihatin melihat rekan jaksa yang dihukum padahal kadang-kadang tak terbukti bersalah dan tidak diberikan kesempatan untuk membela. Jadi mereka hanya mampu diam karena takut. Saya tidak takut! Mengapa? Karena saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan. Kalau saya diam, saya tambah sakit, apalagi banyak orang mendukung saya. Saya tidak mau munafik.
Saya juga tidak mengejar jabatan, pangkat atau kedudukan. Saya hanya mau kerja profesional, mengabdi untuk bangsa ini, memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Bagi saya, meraih pangkat dan jabatan tinggi bukan tujuan tetapi hanya konsekwensi logis dari apa yang telah kita kerjakan.
Di sisa waktu pengabdian, saya sudah komit untuk bekerja lebih keras, ya lebih keras lagi mencurahkan tenaga, pikiran dan jiwa saya untuk kejaksaan dan negara. Saya ingin, para insan Adhyaksa bangun dan menunjukkan kebesarannya seperti saat Gadjah Mada memimpin Adhyaksa dulu. Inilah reformasi birokrasi yang sesungguhnya.
Termasuk waktu jadi Kejati Maluku, Bapak tetap kerja keras, walau Bapak sempat keberatan dengan mutasi ke Ambon?
Begini ya. Saya bukannya tidak mau jadi Kajati Maluku. Ditempatkan di mana saja saya siap. Itu kan ada sumpahnya. Tetapi dari Peraturan Jaksa Agung atau Perja tahun 2014 tentang PPA, Kepala Pusat PPA setidaknya memimpin selama dua tahun. Itu lembaga baru yang masih sangat bayi, setidaknya saya diberikan kesempatan untuk membangun sistem, fondasinya dan yang paling penting saya dan tim ingin optimalkan pemulihan aset. Dari sejak tahun 2011 ketika masih menjadi Satgassus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi hingga kemudian menjadi PPA di akhir tahun 2014, kami telah berhasil memulihkan aset hingga Rp 3,5 triliun. Sejarah kejaksaan mencatat itu. Di awal Januari 2015, saya katakan di media, pada akhir 2015, PPA bisa mengembalikan aset hingga Rp 10 triliun. Saat saya mendapatkan SK tugas ke Ambon saya tetap patuh pada pimpinan. Di Ambon, saya tetap berusaha bekerja keras. Saya dorong para Kajari dan Kacabjari untuk bekerja keras dalam penindakan dan pencegahan terhadap segala bentuk tindak pidana. Beberapa kasus korupsi sedang kami proses. Seluruh jaksa saya minta untuk lebih dekat dan bersahabat dengan masyarakat, ramah dan mengutamakan pelayanan prima pada masyarakat. Masyarakat itulah sejatinya para tuan yang harus dilayani. Kami para jaksa hanyalah abdi masyarakat.
Bapak melaporkan jaksa senior yang tercatat ikut memeriksa Bapak, Ibu Resiana Napitupulu.
Betul dia memang tercatat ikut memeriksa saya tetapi kemudian tidak pernah ikut memeriksa saya. Tiba-tiba waktu konferensi pers, 10 Desember 2015 tentang kasus saya, beliau omong di media massa. Seakan-akan saya gelapkan aset. Saya disebut menggelapkan aset obligor, triliunan. Wah, kalau begitu kaya dong saya. Sebagai akibat omongan beliau seperti itu, image dan reputasi saya menjadi buruk sepanjang hidup, padahal saya tidak menggelapkan apa pun. Karena asal omong dan dikutip media, ya sudah, saya lapor beliau ke polisi. Saya tidak tahu, apakah beliau tidak memikirkan efek dan risiko omongannya? Bagaimana kalau beliau ada di posisi saya? Saya punya keluarga, kasihan istri dan anak-anak saya.
Menurut Bapak, apa yang terjadi sebenarnya di balik ini semua?
Saya ini jaksa yang sudah terlatih di bidang intelijen bahkan saya pernah mendapatkan pendidikan intelijen di luar negeri. Mata dan telinga saya ada di mana-mana dan mereka membantu saya secara sukarela. Saya hanya mau mengatakan, sebenarnya ada skenario besar untuk menyingkirkan saya dengan memberikan hukuman berat.
Skenario apa?
Saya tidak akan bicara.
Bapak punya bukti?
Hahaha…., tentu saja.
Siapa saja yang mendukung Bapak?
Banyak sekali.
Siapa saja mereka?
Pokoknya banyak. Sejumlah mantan petinggi kejaksaan mendukung saya, bahkan ada yang mau jadi relawan, siap membantu, termasuk rekan-rekan wartawan. Banyaklah tetapi kan mereka tidak mau kelihatan. Blog www.justiceforchuck.com saja inisiatif para relawan, saya tidak bayar mereka. Terima kasih untuk semua bantuannya.
Bapak membuat surat ‘permohonan perlindungan hukum’ kepada Presiden Joko Widodo dan lainnya.
Mau tidak mau saya melakukan itu karena saya telah dizolimi. Saya berharap Bapak Presiden Jokowi bisa adil dan bijaksana dalam persoalan ini dan dapat melihat lebih dalam kacamata saya dan teman-teman yang terzolimi.