Jaksa Chuck Suryosumpeno

Chuck Curhat Di Sidang Ke-17: Ingin Melakukan Perubahan Malah Disingkirkan

Jakarta – Sidang ke – 17 gugatan Chuck Suryosumpeno terhadap Jaksa Agung M Prasetyo di PTUN Jakarta, Senin (6/6/16), dengan agenda pembacaan “Kesimpulan” pihak Penggugat, dibacakan langsung oleh Chuck Suryosumpeno. Kehadiran Chuck pada sidang ke-17 kali ini, sedikit mengejutkan hakim, JPN dan pengunjung lantaran baru kali ini dirinya menghadiri sidang.

Sidang yang bertepatan dengan hari pertama (pembukaan) puasa tersebut, tampak sepi. Majelis hakim yang biasanya tiga orang, Tri Cahya Indra Permana (ketua) dengan anggota Hakim Subur dan Hakim Teguh Satya Bhakti, hanya dihadiri hakim Subur sebagai hakim tunggal. Hakim Subur menjelaskan ketidakhadiran dua hakim lainnya karena sedang memimpin sidang perkara lainnya.

Suasana sepi juga terjadi di ruangan sidang. Tidak biasanya para intel dan sejumlah jaksa dan pegawai kejaksaan yang biasanya hadir di setiap sidang, justru tidak hadir. Yang tetap setia hadir hanya relawan Penggugat Chuck Suryosumpeno yang kali ini berjumlah belasan orang.

Mengawali kesimpulannya, Chuck mengucapkan terima kasih kepada majelis hakim atas kesediaannya menyidangkan perkara dan sidang berjalan baik, lancar, tanpa hambatan, majelis hakim memimpin dengan sabar, tegas, objektif dan profesional. Chuck juga menyatakan, dirinya percaya majelis hakim dapat menyelesaikan dan akan memutuskan persidangan dengan adil dan bijaksana atas dasar hukum dan sesuai hati nurani. Mantan Kajati Maluku itu menegaskan, hukum harus ditegkkan walau langit telah runtuh sekali pun.

Chuck menjelaskan alasan ketidakhadirannya dalam 15 kali sidang gugatannya selama ini. “Selama ini saya tidak pernah muncul dalam persidangan, bukan sengaja, bukan karena saya tidak menghormati majelis hakim namun karena saya tidak mampu berhadapan dalam posisi berseberangan dengan para JPN, mereka bukanlah lawan saya. Para JPN adalah adik-adik saya yang seharusnya berada dalam bimbingan serta mentoring saya,” demikian Chuck beralasan.

Menurut Chuck, jika JPN beralasan maju karena mewakili Jaksa Agung atau karena perintah pimpinan maka dirinya berpendapat, “Toh apa yang saya lakukan sebagai Ketua Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi juga karena perintah pimpinan dan niat baik untuk memulihkan aset negara yang kami yakini akan dapat mengembalikan nama baik institusi kejaksaan di mata masyarakat,” tandas Chuck.

Lebih jauh, mantan Kajari Batam dan Kajari Bandung itu menyebutkan bahwa dirinya telah mengabdi di lembaga kejaksaan hampir 35 tahun dan itu merupakan bukti nyata betapa besar kesetiaan dan kebanggan-nya pada bangsa dan negara melalui institusi kejaksaan. Selama masa pengabdiannya itu, Chuck tidak pernah mengejar jabatan, pangkat atau kedudukan.

Kata Chuck, “Saya hanya mau kerja profesional, mengabdi untuk bangsa dan selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Prinsip saya, pangkat dan jabatan tinggi bukan tujuan, tetapi hanya konsekwensi logis dari apa yang telah kita kerjakan.”

Di sisa waktu pengabdiannya, Chuck sudah komit untuk bekerja lebih keras. “Saya sebenarnya telah siap bekerja lebih keras lagi mencurahkan tenaga, pikiran dan jiwa untuk kejaksaan dan negara. Saya ingin, para insan Adhyaksa bangun dan menunjukkan kebesarannya seperti saat Gadjah Mada memimpin Adhyaksa dulu. Inilah reformasi birokrasi yang sesungguhnya,” imbuh Mantan Kepala Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung tersebut.

Selama hampir 35 tahun bekerja dan mengabdi lembaga kejaksaan, Chuck juga selalu berusaha untuk berbeda warna dengan teman-temannya termasuk pimpinan di lembaga kejaksaan namun perbedaan “warna” yang memiliki maksud dan tujuan baik tersebut, kata Chuck, justru tidak disukai dan dibenci oleh teman-temannya. Chuck dianggap sebagai musuh bersama sekaligus ancaman sehingga Chuck disingkirkan dan dimusnahkan.

Penerapan RPA
Pada bagian lain, Chuck menjelaskan tentang penerapan Rezim Pemulihan Aset (RPA), rezim yang selama ini diperjuangkannya bersama Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Jaksa Agung Basrief Arief, agar benar-benar eksis di lembaga kejaksaan, justru “dimatikan” oleh jajaran pimpinan kejaksaan berikutnya.

Penerapan RPA di lembaga kejaksaan menurut Chuck sesungguhnya merupakan sebuah langkah terobosan sebagai instrumen total law enforcement (penegakan hukum secara total/utuh atau sempurna). Total Law Enforcement merupakan istilah Chuck untuk menggambarkan suatu keadaan penegakan hukum yang simultan antara penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan (in personam) dan penegakan hukum terhadap aset kejahatan (in rem) yang dilaksanakan para penegak hukum secara terintegrasi (Integrated Law Enforcement).

Kata Chuck, “Saya berkeyakinan, jika kita secara serius menerapkan visi Total Law Enforcement, maka semua ketimpangan dalam penegakan hukum dapat sirna dan akan memperoleh beberapa kondisi ideal yang didambakan selama ini: (1) Optimalnya Efek Jera, (2) Prinsip Crime Doesn’t Pay, (3) Terwujudnya Kepastian Hukum.”

Optimalnya Ejek Jera!
Dari tiga poin di atas, Chuck kemudian membeberkannya lebih lanjut. Pertama, Optimalnya Efek Jera. Dikatakan, instrumen perundang-undangan yang kita miliki saat ini belum seluruhnya mengakomodir ketentuan hukum yang termaktub dalam beberapa konvensi PBB dalam menerapkan prinsip terkait upaya pemulihan aset.

Fokus penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berorientasi pada harta atau aset seperti narkoba, pembalakan liar, tindak pidana perikanan, penyelundupan manusia dan fraud termasuk korupsi yang lebih menekankan pada menangkap dan menghukum pelaku (In Personam) terbukti masih belum mendatangkan efek jera, sehingga kerugian yang diderita oleh korban sama sekali tidak terpulihkan. Penegakan hukum yang utuh adalah dengan menggunakan strategi ganda: menghukum pelakunya (in personam) dan memutus atau menghambat pelaku kejahatan terhadap aset yang dimilikinya serta memulihkan aset para korbannya (in rem).

Jika keseluruhannya dilakukan secara simultan, menurut Chuck, maka akan menimbulkan efek berganda pula: efek hukuman untuk fisik dan efek psikis karena si pelaku akan kehilangan kemampuan finansialnya serta memunculkan efek kepuasan bagi korban karena hartanya terpulihkan.

Prinsip Crime Doesn’t Pay! 
Kedua, prinsip Crime Doesn’t Pay! Mengutip pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Chuck menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, Chuck berpendapat, sangat wajar bila dirinya berkeyakinan bahwa negara memiliki kewajiban menyelenggarakan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan demi menjamin keamanan serta ketertiban hidup bermasyarakat hingga akhirnya berujung pada terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat.

Penyelenggaraan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan juga menrutnya, memerlukan biaya yang sangat besar dan dengan kondisi perekonomian dan keuangan negara seperti sekarang ini, maka dipastikan sangat membebani negara. Beban negara sesungguhnya adalah beban rakyat, karena keuangan negara sebagian besar berasal dari pajak yang dibayar rakyat pada negara. Dengan Prinsip Crime Doesn’t Pay, rakyat tidak lagi dibebani pembiayaan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan lantaran pembiayaannya sepenuhnya dibebankan pada anggaran negara yang berasal dari repatriasi aset kejahatan yang dihasilkan dari pemulihan aset kejahatan.

Terwujudnya Kepastian Hukum!
Ketiga, terwujudnya kepastian hukum! Menurut Chuck, jika total law enforcement atau penegakan hukum secara total dapat dijalankan dengan harmonis, dengan sendirinya akan menciptakan kepastian hukum, karena rezim pemulihan aset yang diterapkan secara seimbang dan terintegrasi dipastikan akan mereduksi mental transaksional pada para penegak hukum.

Jangan pula kita lupa, demikian Chuck mengingatkan, bahwa loyalitas para penegak hukum memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan. Kesejahteraan para penegak hukum yang lebih terjamin diharapkan dapat menghindarikan mereka dari perbuatan pelanggaran hukum. Dirinya sangat yakin jika kesejahteraan para penegak hukum terjamin dengan baik, niscaya, tidak ada lagi penegakan hukum yang transaksional.

Antiklimaks 
Chuck juga menegaskan bahwa Rezim Pemulihan Aset (RPA) telah berkembang sangat pesat di dunia termasuk penegakan hukumnya. RPA ini tidak hanya dapat diaplikasikan dalam berbagai perkara korupsi melainkan seluruh tindak pidana kejahatan yang berorientasi pada aset atau harta. Namun di institusi Kejaksaan, menurut Chuck, upaya penerapan RPA ini justru membuat jajaran pimpinan kejaksaan dan para jaksa lainnya merasa terusik dan merasa tidak nyaman.

Ketika RPA ini diterapkan di masa Chuck menjadi Ketua Satgassus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi berikut menjadi Kepala PPA, berbagai pihak di dunia internasional justru memberikan pujian sekalian dukungan. Lembaga kejaksaan Indonesia ketika itu dipuji lantaran aktif sebagai anggota CARIN (Camden Asset Recovery Interagency Network) bahkan menjadi salah satu pendiri sekaligus motor lahirnya ARIN AP (Asset Recovery Interagency Network for Asia and Pacific Region). Chuck Suryosumpeno sendiri malah sempat menjadi Presiden ARIN AP untuk periode 2014.

“Peluh, tenaga dan hasil pemikiran saya bertahun-tahun untuk menerapkan RPA pada akhirnya sia-sia, menjadi bumerang bagi jajaran pimpinan lembaga kejaksaan termasuk rekan-rekan. Situasi dan kondisi semacam ini benar-benar ironis dan antiklimaks, sungguh menyedihkan. Hujatan, cibiran, fitnah serta tatapan sinis telah mewarnai hari-hari saya, setelah saya tidak dapat meyakinkan Jaksa Agung Prasetyo mengenai betapa pentingnya rezim pemulihan aset untuk secara komprehensif diterapkan dalam setiap tahap penegakan hukum oleh Kejaksaan,” ungkap Chuck.

Chuck menegaskan bahwa dirinya tidak akan mundur. Dirinya juga yakin bahwa suatu ketika lembaga kejaksaan akan menyadari pentingnya rezim pemulihan aset dan membutuhkan pemikirannya. “Tekanan dan keinginan untuk memusnahkan saya ternyata berujung pada pencopotan serta penghukuman secara sewenang-wenang oleh Jaksa Agung. Tak sedikit rekan yang menyarankan saya untuk ‘legawa’ dan menerima saja hukuman, namun beban moral saya pada para mantan pimpinan kejaksaan dan keluarga saya telah mendorong saya untuk berjuang demi kebenaran. Saya ingin tak akan ada lagi para jaksa dan pegawai kejaksaan yang dihukum secara semena-mena tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri,” demikian Chuck berucap dengan suara yang lantang.

Perja No. 22 Tahun 2014, tambah Chuck lagi, telah mengatur proses pemeriksaan serta penghukuman dengan sangat baik, namun sayangnya, kelemahan para jaksa di pengawasan adalah tidak pernah membaca, memahami serta menjadikan Perja tersebut sebagai acuan atau benchmark dalam setiap pelaksanaan tugasnya.

“Saya berharap, apa yang saya alami saat ini dapat menjadi proses pembelajaran bagi kita semua. Tak ada lagi jaksa dan pegawai kejaksaan yang berada di posisi saya,” pungkas Chuck dengan penuh harapan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.