Tentu saja Chuck Suryosumpeno merasa gegana alias gelisah, galau dan merana. Itu terjadi setelah membaca SK Hukuman Disiplin Berat yang dikirimkan Jaksa Agung M Prasetyo ke kantor Kejati Maluku via JNE pada hari Jumat malam di akhir November 2015. Sang istri, Retno Kusumastuti, terus membesarkan hatinya dan memberikan semangat.
Sabtu pagi itu Chuck dan Retno tinggalkan kota Ambon menuju Jakarta. Di atas pesawat, Chuck merasa harus bangkit dan move on meninggalkan perasaan gegana. Hatinya pun damai. Begitu juga ketika tiba di Jakarta, kala disambut empat putra-putrinya, Retiza, Deo, Edo dan Nabila, Chuck tambah semangat. Wajahnyapun sumringah.
Besoknya Chuck mengundang sejumlah pihak untuk mendiskusikan kasusnya. Hadir sejumlah mantan petinggi kejaksaan agung, sejumlah pengacara, sejumlah konsultan komunikasi, sejumlah wartawan, sejumlah relawan, jaksa Murtiningsih dan jaksa Ngalimun dan sejumlah sahabat. Hadir juga Retno dan putri sulungnya Retiza yang kini berprofesi sebagai pengacara.
Chuck membuka pembicaraan, memberikan kata pengantar lalu meminta seluruh hadirin untuk membaca fotokopi SK Hukuman Disiplin yang diterimanya. “Wah Pak, kalau Bapak sudah terima SK hukuman disiplin seperti itu, berarti SK yang sama untuk kami (Murtiningsih dan Ngalimun) pasti tidak lama lagi,” celetuk Murtiningsih kepada hadirin.
Seterusnya Chuck menjelaskan kronologi dan duduk perkara persoalan yang dihadapinya. Berkali-kali Chuck bertanya kepada Murtiningsih dan Ngalimun, dua orang anak buahnya itu, terkait kebenaran data dan fakta-fakta lainnya. Murtiningsih yang menjabat sebagai sekretaris/kepala tata usaha untuk Satgassus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi, berikut menjadi sekretaris/kepala tata usaha PPA, tentu saja banyak mengetahui tentang data dan administrasi barang rampasan dan barang sita eksekusi.
Hampir satu jam lamanya Chuck memberikan penjelasan. Seorang mantan petinggi dari kejaksaan agung langsung bertanya, “Saya mau tanya dari hati yang paling dalam Pak Chuck, Ibu Murtiningsih dan Pak Ngalimun, apa benar yang dituduhkan pimpinan kejaksaan dalam SK tersebut?”
Dengan kompak, Chuck, Murtiningsih dan Ngalimun, menjawab, “Nggak benar Pak!” Ketiganya tertawa karena menjawab dengan kalimat yang sama secara bersamaan. Hadirin lain juga ikut tertawa. Berkali-kali Chuck menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan di dalam SK Hukuman Disiplin tersebut. “Tidak benar. Ini benar-benar ngarang dan fitnah. Tidak sesuai fakta yang sebenarnya. Saya punya keyakinan pribadi, mereka hanya mau cari-cari kesalahan saya,” tandas Chuck.
“Kalau begitu ini jelas kriminalisasi Pak. Perlakuan sewenang-wenang dan karena itu tidak bisa didiamkan, tidak bisa diterima begitu saja. Pak Chuck harus bisa buktikan bahwa Bapak tidak bersalah,” ungkap seorang pengacara senior.
Hadirin diam sejenak. “Lalu bagaimana?” tanya Chuck dengan nada datar. Hampir semua hadirin mendorong agar Chuck menggugat SK Hukuman Disiplin tersebut ke PTUN Jakarta. Chuck pun kebingungan sebab kata dia, para jaksa tidak dididik untuk melawan pimpinan.
“Wah, kalau saya menggugat, tak terbayang respon para pimpinan sebab kami tidak memiliki tradisi untuk melawan pimpinan. Memang yang saya tahu, ada juga teman jaksa yang menggugat ke PTUN tetapi tidak rame. Yang cukup ramai belum lama ini adalah gugatan mantan Kajari Pontianak yang dibela Pak Yusril Ihza Mahendra. Toh kalaupun menang, kekuasaan eksekusinya tetap saja ada pada pimpinan,” jelas Chuck.
Sempat terjadi perdebatan, namun akhirnya semua sepakat untuk beberapa hal. Pertama, karena SK Hukuman Disiplin yang dijatuhkan kepada Chuck tidak sesuai dengan fakta dan demi menegakkan kebenaran, keadilan serta demi nama baik Chuck Suryosumpeno, maka SK Jaksa Agung tersebut harus digugat di PTUN Jakarta.
Kedua, memang bukan sesuatu yang elok dan bukan sesuatu yang lazim untuk menggugat SK pimpinan di PTUN, namun siapa pun yang diperlakukan tidak adil, diperlakukan sewenang-wenang, harus dilawan melalui jalur hukum dan segera dibentuk tim kuasa hukum.
Ketiga, bukan zamannya lagi pimpinan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap anak buah. Sepatutunya pemimpin lembaga mana pun yang melakukan tindakan sewenang-wenang, yang menghukum atas dasar like and dislike harus dikoreksi, diingatkan dan dilawan secara hukum.
Keempat, gugatan ke PTUN yang merupakan upaya hukum, harus diikuti dengan upaya nonlitigasi, oleh karena itu perlu dibentuk tim tambahan, yakni; tim relawan, tim komunikasi dan tim khusus.
Semua sepakat. Pada mulanya ada anggota tim yang mengusulkan agar meminta jasa Yusril Ihza Mahendra untuk membela Chuck, namun buru-buru, Retno menegaskan, “Wah, terlalu mahal biayanya. Saya tidak akan mampu. Usul saya lebih baik gunakan jasa bapak dan ibu pengacara yang ada di sini saja, saya percaya, Anda juga berkualitas,” celetuk Retno yang juga konsultan komunikasi dan karena itu juga telah lama mengundurkan diri dari organisasi Ikatan Adhyaksa Dharmakarini (IAD).
Usulan Retno pun diterima Chuck dan segenap hadirin. Sejumlah pengacara yang hadir sepakat menjadi sebuah tim, dipimpin Sahari Banong. Satu tim pengacara juga dipersiapkan untuk membantu Murtiningsih dan Ngalimun. Tim nonlitigasi juga dibentuk pada petang itu dan diminta untuk langsung membuat program kerjanya.
Tim bekerja secara sukarela. Semua ingin bekerja karena solidaritas yang tinggi untuk membantu Chuck dkk yang berani memperjuangkan replica rolex watches kebenaran dan keadilan. Tim kecil juga menganggap dirinya sebagai Daud yang bukan siapa-siapa lalu tiba-tiba ‘berperang’ melawan Goliath yang memiliki kuasa dan tahta.
Toh Chuck tidak merasa kiamat kala munculnya SK hukuman disiplin tersebut dan sebaliknya justru memberikan semangat dan dorongan moral pada rekan-rekannya di PPA. Bahkan setelah Chuck dipanggil para Komisioner pada Komisi Kejaksaan RI (KKRI) untuk menjelaskan blue print pemulihan aset, KKRI kemudian melayangkan surat rekomendasi kepada Jaksa Agung dan Presiden meminta SK Chuck dibatalkan. Alasannya, Komjak merasa PPA memiliki potensi untuk meningkatkan penilaian kinerja institusi Kejaksaan dimata masyarakat.
Ketika malam hendak tiba dan rapat rencana strategis (renstra) tuntas. Semuanya pun bubar setelah menyantap soto enak dengan sambal petir yang sangat pedas. Ruang 808 itu pun senyap dan kembali membisu.***